Sejarah Indonesia (1965-1966)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah Indonesia (1965-1966) adalah masa
Transisi ke Orde Baru, masa di mana pergolakan politik terjadi di
Indonesia di pertengahan 1960-an, digulingkannya presiden pertama Indonesia,
Soekarno setelah 21 tahun menjabat. Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak dalam
sejarah modern Indonesia. Periode ini juga menandakan dimulainya 32 tahun masa kepemimpinan
Soeharto.
Digambarkan sebagai "
dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan antara
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan,
mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI.
[1] Tentara telah terbagi, antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh
negara-negara Barat.
Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam sebuah aksi yang disebut "
Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari dalam TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai "percobaan
kudeta". Dalam beberapa jam,
Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi pasukan di bawah komandonya dan menguasai
Jakarta. Golongan anti-komunis, yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan
pembersihan berdarah dari komunis
di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan
menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis
tersebut oleh Soeharto.
[2][3]
Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan
dipaksa untuk mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia
pada Jenderal Soeharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata
Indonesia. Pada bulan Maret 1967,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) menyatakan bahwa Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia.
Soeharto kemudian resmi ditunjuk sebagai presiden Indonesia satu tahun
kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan rumah sampai kematiannya pada
tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan nasionalisme, retorika revolusi
nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang merupakan ciri awal
1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "
Orde Baru" Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan pusat yang kuat.
[4]
Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia,
Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan pelanggaran
hak asasi manusia dan
korupsi yang sangat tinggi.
[5]
Menurut sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut
[orang Indonesia], [Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi
mereka..." sedangkan Soeharto melanjutkan dengan "... mengolah perut
penuh [namun] semangat kosong".
[6]
Latar belakang
Soekarno, Presiden Indonesia (1945-1967)
Soekarno sebagai tokoh
nasionalis utama Indonesia telah menyatakan
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan ditunjuk sebagai presiden. Menyusul
perjuangan revolusi nasional terhadap mantan
kolonial Belanda,
Soekarno berhasil menyatukan negara Indonesia yang hampir terpecah,
namun pemerintahannya belum mampu memberikan sebuah sistem ekonomi yang
layak untuk mengangkat warganya dari kemiskinan yang parah. Dia
menekankan kebijakan dalam negeri yang
sosialis dan kebijakan internasional yang sangat
anti-imperialis, didukung oleh gaya pemerintahan
otoriter yang tergantung pada kepribadian karismatiknya. Kebijakan-kebijakan ini kemudian membawanya menciptakan aliansi dengan
Blok Soviet,
Republik Rakyat Cina, dan merintis penciptaan
Gerakan Non-Blok dari negara-negara pasca-kolonial di
Konferensi Asia-Afrika. Kebijakan-kebijakan ini juga menciptakan aliansi politik dalam negeri dengan
Partai Komunis Indonesia.
Dari akhir 1950-an, konflik politik dan kemerosotan ekonomi terus
bertambah di Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintahan Soekarno
yang kekurangan uang harus membuang subsidi sektor-sektor publik yang
penting, perkiraan inflasi tahunan terjadi pada 500-1.000%, pendapatan
ekspor menyusut, infrastruktur hancur, dan pabrik-pabrik beroperasi pada
kapasitas minimal dengan
investasi terabaikan. Sementara kemiskinan parah dan kelaparan menjadi meluas, Soekarno memimpin Indonesia dalam
konfrontasi militer dengan Malaysia sambil meningkatkan retorika revolusi dan anti-Barat.
[7]
Digambarkan sebagai "dalang" besar di media, posisi kekuasaan
Presiden Soekarno bergantung pada keberhasilannya menyeimbangkan
kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi Soekarno yang anti-imperialisme kemudian membawa Indonesia semakin tergantung pada dukungan
Uni Soviet dan
China. Pada tahun 1965 di puncak
Perang Dingin, PKI telah merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara luas. Dengan dukungan dari Soekarno dan
Angkatan Udara, PKI memperluas pengaruhnya dengan mengurangi kekuasaan tentara, sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.
[8] Pada akhir 1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh
Amerika Serikat.
[9]
Perpecahan Militer
Kebijakan-kebijakan Soekarno tersebut hanya memberikan Soekarno
beberapa teman dan lebih banyak musuh di negara-negara Barat. Musuh ini
terutama mencakup
Amerika Serikat dan
Inggris Raya, yang mana para investornya semakin marah dengan kebijakan Soekarno me
nasionalisasi aset tambang mineral, pertanian, dan energi. Karena membutuhkan Indonesia sebagai sekutu dalam
Perang Dingin
melawan Uni Soviet, Amerika Serikat menciptakan sejumlah hubungan
dengan para perwira militer TNI melalui pertukaran dan transaksi
senjata. Hal ini memupuk perpecahan di jajaran TNI, dengan Amerika
Serikat dan sekutunya mendukung sebuah faksi sayap kanan TNI yang
berseberangan terhadap faksi sayap kiri TNI yang mendukung Partai
Komunis Indonesia.
Ketika Soekarno menolak bantuan pangan dari
USAID,
sehingga memperburuk kondisi kelaparan, faksi sayap kanan TNI
mengadopsi struktur komando regional di mana mereka bisa menyelundupkan
bahan pangan untuk memenangkan loyalitas penduduk pedesaan. Dalam upaya
untuk membatasi kekuasaan sayap kanan TNI yang meningkat, Partai Komunis
Indonesia dan faksi sayap kiri TNI membentuk sejumlah organisasi massa
petani dan lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Laporan
ABC tahun 1966 yang membahas mengenai konteks politik Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Pada tahun 1963, kebijakan
Konfrontasi terhadap
Federasi Malaysia
yang baru terbentuk diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin
memperburuk perpecahan antara faksi TNI sayap kiri dan sayap kanan,
dengan faksi sayap kiri TNI dan Partai Komunis mengambil bagian dalam
serangan gerilya di perbatasan antara Kalimantan dengan Malaysia,
sementara faksi sayap kanan TNI sebagian besar absen dari konflik (tidak
jelas apakah karena pilihan atau perintah Soekarno).
Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong
Blok Barat
untuk mencari cara untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai
ancaman terhadap stabilitas regional Asia Tenggara (begitu pula
Vietnam Utara dalam pandangan
Teori Domino
Blok Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini mendekati perang
terbuka antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1965, meningkatkan
ketidakpuasan dunia terhadap rezim Soekarno dan memperkuat peluang
kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang pasukannya masih
dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.
Runtuhnya sistem Demokrasi Terpimpin
Gerakan 30 September
Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman
umum para jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto
oleh
Departemen Penerangan Indonesia).
Pada malam
30 September -
1 Oktober 1965, enam jendral senior TNI diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari
Resimen Tjakrabirawa
(Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh
Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang
membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan
Darat yang paling berkuasa,
Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personil tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi
Lapangan Merdeka, dan menduduki
Istana Merdeka, kantor
Radio Republik Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati sisi timur, tempat markas
Kostrad.
[10] Menyebut diri mereka "
Gerakan 30 September" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00
WIB bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh
Central Intelligence Agency (CIA)
Amerika Serikat yang direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.
[10]
Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota "
Dewan Jenderal",
yang telah merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden
Soekarno. Mereka kemudian menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan
berlangsung pada "
Hari Angkatan Bersenjata" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah
junta militer yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.
[11][12] Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah "
Dewan Revolusi"
yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan pemimpin sipil yang
akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia. Selain itu, mereka
menyatakan bahwa
Kabinet Dwikora Presiden Soekarno sebagai "demisioner" ("tidak valid").
[13]
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel
Abdul Latief, Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan
Kostrad (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.
[14] Soeharto, bersama dengan Jenderal
Nasution
yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan
pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden
Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio
tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan
mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor
Jenderal
Umar Wirahadikusumah dan Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan khusus tentara RPKAD (
Resimen Para Komando Angkatan Darat).
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan
Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara
personil G30S telah mundur kembali ke Markas
Halim Perdanakusuma TNI AU.
Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari
tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak
sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah
langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara
G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut.
Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang
terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi
Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.
[15]
Perebutan kekuasaan internal militer
Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat
pengaruh militer jatuh untuk personil tentara yang lebih bersedia untuk
menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.
[16]
Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi
dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan
rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal
Abdul Haris Nasution, anggota dari kubu TNI sayap kanan.
Pada tanggal
2 Oktober,
Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali
tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas
untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal
1 November dibentuklah
Kopkamtib ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.
[15] Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen
Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut,
The New York Times
melaporkan bahwa sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak
disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI.
Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya, membuat media tersebut
berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk membunuh para
jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada
kekuasaan.
[17]
Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan unit
KOSTRAD-nya
adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis, Soeharto
menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut G30S.
Kemudian, atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari
jabatan yang diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf
TNI Angkatan Darat pada
14 Oktober 1965.
[18]
Pembersihan berdarah anti-komunis
Dua pria sedang menanti kematiannya, seorang tentara di belakang mereka
menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya dalam sebuah
eksekusi kilat terhadap para terduga komunis.
Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu
Indonesia, dan berhasil meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan
internasional bahwa peristiwa
Gerakan 30 September
adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa pembunuhan jenderal faksi
sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut terhadap para
pahlawan Indonesia.
[19] Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30 September disebut "
Gestapu"
(dari "Gerakan September Tigapuluh"). Tentara, bertindak atas perintah
Soeharto dan diawasi oleh Nasution, memulai kampanye agitasi dan hasutan
untuk melakukan kekerasan berdarah di kalangan warga sipil Indonesia
yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi
Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI
tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.
[20]
Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat
menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.
[21]
Pada pemakaman
Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana
Martadinata
memberi sinyal pada para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang
Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar
habis saat petugas
pemadam kebakaran hanya berdiri diam.
[22]
Mereka kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis
Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI
D.N. Aidit,
M.H. Lukman dan
Nyoto
juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan
masyarakat Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen
partai komunis dan
organisasi massa
berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap,
beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.
[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua
stasiun radio yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis
Indonesia adalah partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai
PKI sendiri dan semua "
onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti
organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual dan
kelompok mahasiswa, dan serikat buruh
SOBSI.
Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan
terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau
seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai
dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia
melaksanakan
hukuman di luar hukum, termasuk
penangkapan massal dan
eksekusi kilat,
terhadap siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis,
dan loyalis Soekarno. Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut,
Soekarno mengeluarkan perintah untuk mencoba menghentikannya, tapi ia
diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI untuk peristiwa
"kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI
Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga
tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan
untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih
luas.
[22]
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian
masyarakat yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok
vigilante Muslim) mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupun
onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.
[15] Pembunuhan dimulai di ibukota,
Jakarta, menyebar ke
Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dan kemudian
Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan
Sumatra utara.
[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.
[24]
Perkiraan jumlah korban tewas dari berbagai kekerasan ini berkisar dari
lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan sejarawan menerima
figur sekitar 500.000.
[25]
Banyak orang lain juga dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan,
orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai tersangka.
Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar
dugaan pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut.
[26]
Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar
pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif
dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
Demonstrasi
Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk
KAMI ("Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia"), yang menyerukan pelarangan PKI.
[27]
Organisasi ini segera dimasuki sejumlah organisasi serupa yang terdiri
dari siswa SMA, pekerja, seniman, buruh dan sejenisnya. Target lainnya
untuk para demonstran adalah kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah.
[22] Mereka juga berdemonstrasi menentang
Subandrio, menteri luar negeri dan kepala badan intelijen BPI dan orang nomor dua di pemerintahan.
[12]
Pada
10 Januari 1966, para demonstran, termasuk KAMI, berdemonstrasi di depan gedung DPR dan mengumumkan apa yang dikenal sebagai "
Tri Tuntutan Rakyat" (Tritura):
- Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya
- Pengusiran elemen PKI dari kabinet dengan adanya perombakan
- Harga kebutuhan pokok yang lebih rendah dan perbaikan ekonomi[27]
Pada bulan Februari 1966 saat demonstrasi anti-komunis terus
berlanjut, Soekarno mencoba menenangkan Soeharto dengan mempromosikan
dirinya. Pada tanggal 21 Februari, Soekarno mencoba untuk mendapatkan
kembali prakarsa pemerintahan dengan mengumumkan kabinet baru, yang
termasuk mantan kepala TNI Angkatan Udara
Omar Dhani, yang telah mengeluarkan pernyataan pada
1 Oktober
1965 awalnya mendukung "kudeta" G30S. Lebih provokatif lagi, Soekarno
kemudian memecat Jenderal Nasution dari pos kabinetnya. Kabinet baru ini
segera menjadi dikenal sebagai "Kabinet Gestapu", dari singkatan yang
diciptakan oleh militer untuk Gerakan 30 September.
[22]
Dua hari setelah pengumuman Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar
berusaha menyerbu istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru
Soekarno sedang dilantik, tentara dari
Resimen Tjakrabirawa (pengawal presiden) menembaki kerumunan di depan istana, membunuh pengunjuk rasa mahasiswa
Arif Rahman Hakim, yang kemudian diangkat menjadi martir dan diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.
[22][27]
Pada
8 Maret
1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri, dan
mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya
menuduh Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar
grafiti yang menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah
referensi anggapan tentang kedekatannya terhadap pemerintahan komunis
China) atau tergantung di tiang gantungan.
[22]
Soekarno kemudian merencanakan serangkaian pertemuan yang berlangsung
tiga hari untuk memulihkan kekuasaannya. Yang pertama, pada tanggal
10 Maret, melibatkan para pimpinan
partai politik.
Ia berhasil membujuk mereka untuk menandatangani deklarasi peringatan
terhadap perlawananan atas otoritas presiden oleh demonstrasi mahasiswa.
Tahap kedua adalah rapat kabinet yang direncanakan untuk tanggal
11 Maret.
Namun, saat pertemuan ini sedang berlangsung, sebuah kabar mencapai
Soekarno bahwa pasukan tak dikenal sedang mengepung istana. Soekarno
segera meninggalkan istana dengan tergesa-gesa menuju
Bogor, di mana malam itu, ia menandatangani dokumen
Supersemar
sebagai serah terima wewenang untuk memulihkan ketertiban kepada Mayor
Jenderal Soeharto. Soeharto bertindak cepat. Keesokan harinya, tanggal
12 Maret ia segera melarang PKI. Pada hari yang sama, terlihat "unjuk
kekuatan" oleh TNI Angkatan Darat di jalan-jalan Jakarta, yang
disaksikan oleh orang banyak yang bersorak.
[22] Pada tanggal 18 Maret Soebandrio dan 14 menteri lainnya ditangkap, termasuk deputi perdana menteri ketiga
Chairul Saleh. Malam itu, radio mengumumkan bahwa para menteri tersebut berada di tahanan perlindungan.
[22]
Soeharto kemudian mengakui dalam otobiografinya bahwa ia sering
berhubungan dengan para demonstran mahasiswa selama periode ini, dan
Soekarno sering meminta dia untuk menghentikan demonstrasi-demontrasi
tersebut.
Manuver politik
Pada tanggal 27 Maret, susunan kabinet baru yang disepakati Soeharto
dan Soekarno, diumumkan. Kabinet ini termasuk tokoh kunci Soeharto
sendiri sebagai wakil perdana menteri interim untuk keamanan dan urusan
pertahanan, bertugas mencegah kebangkitan komunisme, Sultan
Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi, keuangan dan pembangunan , bertugas memecahkan masalah ekonomi bangsa dan
Adam Malik sebagai wakil perdana menteri untuk urusan sosial dan politik, yang tugasnya akan mengelola kebijakan luar negeri.
[22][28]
Pada
24 April 1966, Soeharto berpidato kepada anggota
Partai Nasional Indonesia
di mana ia berbicara tentang "tiga penyimpangan" yang harus dikoreksi
oleh para pemuda negara bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata. Hal ini
adalah:
- Radikalisme ekstrim kiri PKI dan upaya untuk memaksakan perjuangan kelas pada rakyat Indonesia;
- Oportunisme politik yang dimotivasi oleh keuntungan pribadi, dipimpin dan dieksploitasi oleh "dalang" dari Badan Pusat Intelijen Indonesia (BPI), yang pada saat itu dipimpin oleh Subandrio, sekutu Soekarno;
- Avonturisme ekonomi, menghasilkan penciptaan sengaja sebuah kekacauan ekonomi.[29]
Rezim baru ini berpaling dari China dan mulai bergerak untuk mengakhiri
konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan menyimpang dari keinginan Soekarno.
[22]
Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan
lembaga-lembaga negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana,
Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di depan gedung legislatif pada tanggal
2 Mei, pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan pro-komunis diskors dari DPR-GR dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang Pro-Soeharto kemudian diangkat.
[11][22]
Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka
12 Mei, tapi akhirnya dimulai pada tanggal
20 Juni dan berlanjut sampai dengan
5 Juli. Salah satu tindakan pertamanya adalah menunjuk Jenderal
Nasution
sebagai ketua. Sidang ini kemudian mulai membongkar aparatur negara
yang telah dibangun Soekarno di sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan
beberapa keputusan, salah satunya adalah ratifikasi
Supersemar, sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi
Marxisme,
menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil
Soekarno untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di
Indonesia dan menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup".
Sidang ini juga mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa jika
presiden (Soekarno) tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang
Supersemar akan menjabat sebagai presiden.
[22][27]
Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal
20 Juni,
dipimpin oleh presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan
termasuk Adam Malik dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini
kembali mencakup pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.
Pada tanggal
11 Agustus,
sebuah perjanjian damai ditandatangani, secara resmi mengakhiri
"Konfrontasi" Indonesia-Malaysia. Indonesia mengumumkan akan bergabung
kembali dengan
Bank Dunia,
Dana Moneter Internasional (IMF) dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Perjanjian ini termasuk pembebasan tahanan politik Soekarno dan
pembayaran kompensasi kepada pemerintah Inggris dan Amerika Serikat atas
kerusakan yang terjadi pada bangunan diplomatik mereka selama
demonstrasi di era Soekarno.
Pada tanggal
17 Agustus,
dalam pidato hari kemerdekaan tahunan, Soekarno menyatakan bahwa
Indonesia tidak mau mengakui Malaysia atau bergabung kembali dengan PBB.
Ia juga menyatakan bahwa ia tidak memindahkan kekuasaan kepada
Soeharto. Ini memicu reaksi marah dalam bentuk demonstrasi, dan
Indonesia memang akhirnya bergabung kembali dengan PBB pada bulan
September, berpartisipasi dalam
Majelis Umum pada tanggal
28 September.
[27] Sementara itu, kritik dari para demonstran menjadi semakin gencar dan pribadi, ada yang menuntut Soekarno untuk diadili.
Pada
10 Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan dokumen yang dikenal sebagai "
Nawaksara", memberikan versinya tentang peristiwa seputar
Gerakan 30 September.
Di dalamnya, ia mengatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para
jenderal TNI tersebut adalah sebuah "kejutan tak terduga" kepadanya, dan
bahwa ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah moral dan
ekonomi bangsa. Hal ini menyebabkan demonstran menyerukan Soekarno
untuk digantung.
[22]
Pimpinan MPRS kemudan bertemu pada tanggal
21 Januari dan menyimpulkan bahwa Soekarno telah gagal untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Dalam resolusi yang disahkan pada
9 Februari, DPR-GR menolak
Nawaksara dan meminta MPRS untuk mengadakan sidang khusus.
[27]
Laporan
ABC April 1967 tentang ketegangan politik di akhir era Soekarno.
Pada tanggal
12 Maret
1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan sengit, sidang ini
setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya. Pada
tanggal
12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai
tahanan rumah secara
de facto di kediamannya di
Bogor. Setahun kemudian, pada tanggal
27 Maret 1968 sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.
[27]
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada tanggal
16 Desember
1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi Tertinggi, dan
memegang sebagian dari hirarki militer yang umumnya dipegang oleh orang
sipil.
The New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka membentuk sebuah
junta untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.
[30] (
New York Times, 16 Desember 1965.)
Konsekuensi
Undang-undang anti-tjina
Walaupun kebencian terhadap keturunan
Tionghoa oleh keturunan
pribumi di Indonesia berawal di era
Hindia Belanda,
Orde Baru
menghasut terciptanya undang-undang anti-China menyusul usahanya
menghapuskan total faham komunisme (karena negara China menganut faham
komunisme). Walaupun
stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk
Tionghoa-Indonesia
kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya
histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang
Tionghoa-Indonesia dengan
Republik Rakyat Cina memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk
kolom kelima (simpatisan rahasia) komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China yang kala itu ramah diputus, dan
Kedutaan Besar China di Jakarta dibakar oleh massa.
Undang-undang baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda
Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah
bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan
wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-sentimen serupa.
Sebuah sistem politik baru
Likuidasi dan pelarangan
Partai Komunis Indonesia
(dan organisasi terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai
politik terbesar di Indonesia. PKI juga merupakan salah satu Partai
Komunis terbesar di
Komintern,
dengan sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh
Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para
loyalis Soekarno dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara
efektif telah berakhir. Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas
rezim Orde Baru Soeharto dalam 32 tahun selanjutnya.
[31]
Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan
untuk memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi,
dan mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia.
Militer diberi peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan
sosial di seluruh Indonesia mengalami birokratisasi dan korporatisasi,
dan metode represi yang selektif namun efektif dan kadang-kadang brutal
digunakan terhadap penentang rezim Orde Baru.
[31]
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer sebagai bagian dari doktrin "
dwifungsi"
(fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai
administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang
tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi
sebuah partai tunggal, Partai
Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (
PDI dan
PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.
Kebangkitan Islamisme
Penghilangan partai-partai Nasionalis dan Komunis, dua jenis partai yang
sekuler, memiliki efek samping yang memberikan ruang lebih luas untuk pengembangan doktrin
Islamisme di Indonesia. Hal ini termasuk doktrin Islam yang liberal, konservatif, dan kelompok-kelompok ekstremis yang menganut
Islam di Indonesia.
Para pengamat sejarah dan politik Indonesia meyakini bahwa pasukan
Soeharto membesar-besarkan sentimen anti-komunis dengan memanfaatkan
permusuhan golongan Islam konservatif terhadap komunisme yang "tak
bertuhan" untuk menghasut
jihad melawan para pendukung sayap kiri (komunisme).
Peningkatan hubungan dengan Barat
Perubahan rezim ini membawa perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang memungkinkan
USAID
dan lembaga bantuan lainnya untuk beroperasi di dalam Indonesia.
Soeharto membuka ekonomi Indonesia dengan melepas perusahaan milik
negara, dan negara-negara Barat didorong untuk berinvestasi dan
mengambil kendali dari banyak kepentingan pertambangan dan konstruksi di
Indonesia. Hasilnya adalah stabilisasi ekonomi dan pengentasan
kemiskinan absolut dan kondisi
kelaparan yang telah dihasilkan dari kekurangan pasokan beras dan keengganan Soekarno mengambil bantuan negara-negara Barat.
Sebagai hasil dari eliminasi komunis, Soeharto kemudian dipandang sebagai seorang yang pro-Barat dan
anti-komunis.
Sebuah hubungan militer dan diplomatik yang akan berlangsung lama
antara Indonesia dan negara-negara Barat telah dibangun, yang kemudian
mengarah ke pembelian senjata dari
Amerika Serikat,
Inggris Raya,
Australia dan pelatihan personil militer Indonesia oleh negara-negara tersebut.