Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol
Gambar Tuanku Imam Bonjol oleh Hubert de Stuers (sekitar 1820)
Pemimpin Padri
Masa jabatan
k.1821 – k.1837
Penguasa monarki Pagaruyung
Informasi pribadi
Lahir 1772
Bonjol
Meninggal 6 November 1864
Minahasa
Kebangsaan Minangkabau
Agama Islam
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Nama dan gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Riwayat perjuangan

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Penangkapan dan pengasingan

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7] sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.[8]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pattimura

Pattimura

D
Untuk Kapitan Pattimura sebagai nama kapal laut TNI dengan nomor lambung 371, lihat KRI Kapitan Patimura
Thomas Matulessy Pattimura

Pattimura dari Uang Rupiah Pecahan Seribu
Julukan Pattimura
Lahir 08 Juni 1783
Bendera Belanda Haria, Saparua, Maluku, Hindia Belanda
Meninggal 16 Desember 1817 (umur 34)
Bendera Belanda New Victoria, Ambon, Maluku, Hindia Belanda
Pengabdian Bendera Britania Raya Maluku Britiania
Dinas/cabang BritishArmyFlag2.svg Angkatan Darat Kerajaan
Pangkat Sersan Mayor
Perang Perang Pattimura
Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia (diterima 6 November 1973)
Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Istilah Kapitan

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran abdul gafur, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
[1] [2]

Perjuangan

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[3] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[4] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [5] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [4] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Indonesia (1965-1966)

Sejarah Indonesia (1965-1966)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasSejarah Indonesia (1965-1966) adalah masa Transisi ke Orde Baru, masa di mana pergolakan politik terjadi di Indonesia di pertengahan 1960-an, digulingkannya presiden pertama Indonesia, Soekarno setelah 21 tahun menjabat. Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak dalam sejarah modern Indonesia. Periode ini juga menandakan dimulainya 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto.
Digambarkan sebagai "dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI.[1] Tentara telah terbagi, antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara Barat.
Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam sebuah aksi yang disebut "Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari dalam TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Dalam beberapa jam, Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi pasukan di bawah komandonya dan menguasai Jakarta. Golongan anti-komunis, yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan pembersihan berdarah dari komunis di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut oleh Soeharto.[2][3]
Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan dipaksa untuk mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia pada Jenderal Soeharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan rumah sampai kematiannya pada tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan nasionalisme, retorika revolusi nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang merupakan ciri awal 1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "Orde Baru" Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan pusat yang kuat.[4] Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang sangat tinggi.[5] Menurut sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut [orang Indonesia], [Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka..." sedangkan Soeharto melanjutkan dengan "... mengolah perut penuh [namun] semangat kosong".[6]

Latar belakang

Soekarno, Presiden Indonesia (1945-1967)
Soekarno sebagai tokoh nasionalis utama Indonesia telah menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan ditunjuk sebagai presiden. Menyusul perjuangan revolusi nasional terhadap mantan kolonial Belanda, Soekarno berhasil menyatukan negara Indonesia yang hampir terpecah, namun pemerintahannya belum mampu memberikan sebuah sistem ekonomi yang layak untuk mengangkat warganya dari kemiskinan yang parah. Dia menekankan kebijakan dalam negeri yang sosialis dan kebijakan internasional yang sangat anti-imperialis, didukung oleh gaya pemerintahan otoriter yang tergantung pada kepribadian karismatiknya. Kebijakan-kebijakan ini kemudian membawanya menciptakan aliansi dengan Blok Soviet, Republik Rakyat Cina, dan merintis penciptaan Gerakan Non-Blok dari negara-negara pasca-kolonial di Konferensi Asia-Afrika. Kebijakan-kebijakan ini juga menciptakan aliansi politik dalam negeri dengan Partai Komunis Indonesia.
Dari akhir 1950-an, konflik politik dan kemerosotan ekonomi terus bertambah di Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintahan Soekarno yang kekurangan uang harus membuang subsidi sektor-sektor publik yang penting, perkiraan inflasi tahunan terjadi pada 500-1.000%, pendapatan ekspor menyusut, infrastruktur hancur, dan pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas minimal dengan investasi terabaikan. Sementara kemiskinan parah dan kelaparan menjadi meluas, Soekarno memimpin Indonesia dalam konfrontasi militer dengan Malaysia sambil meningkatkan retorika revolusi dan anti-Barat.[7]
Digambarkan sebagai "dalang" besar di media, posisi kekuasaan Presiden Soekarno bergantung pada keberhasilannya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi Soekarno yang anti-imperialisme kemudian membawa Indonesia semakin tergantung pada dukungan Uni Soviet dan China. Pada tahun 1965 di puncak Perang Dingin, PKI telah merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara luas. Dengan dukungan dari Soekarno dan Angkatan Udara, PKI memperluas pengaruhnya dengan mengurangi kekuasaan tentara, sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.[8] Pada akhir 1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh Amerika Serikat.[9]

Perpecahan Militer

Kebijakan-kebijakan Soekarno tersebut hanya memberikan Soekarno beberapa teman dan lebih banyak musuh di negara-negara Barat. Musuh ini terutama mencakup Amerika Serikat dan Inggris Raya, yang mana para investornya semakin marah dengan kebijakan Soekarno menasionalisasi aset tambang mineral, pertanian, dan energi. Karena membutuhkan Indonesia sebagai sekutu dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, Amerika Serikat menciptakan sejumlah hubungan dengan para perwira militer TNI melalui pertukaran dan transaksi senjata. Hal ini memupuk perpecahan di jajaran TNI, dengan Amerika Serikat dan sekutunya mendukung sebuah faksi sayap kanan TNI yang berseberangan terhadap faksi sayap kiri TNI yang mendukung Partai Komunis Indonesia.
Ketika Soekarno menolak bantuan pangan dari USAID, sehingga memperburuk kondisi kelaparan, faksi sayap kanan TNI mengadopsi struktur komando regional di mana mereka bisa menyelundupkan bahan pangan untuk memenangkan loyalitas penduduk pedesaan. Dalam upaya untuk membatasi kekuasaan sayap kanan TNI yang meningkat, Partai Komunis Indonesia dan faksi sayap kiri TNI membentuk sejumlah organisasi massa petani dan lainnya.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Laporan ABC tahun 1966 yang membahas mengenai konteks politik Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Pada tahun 1963, kebijakan Konfrontasi terhadap Federasi Malaysia yang baru terbentuk diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin memperburuk perpecahan antara faksi TNI sayap kiri dan sayap kanan, dengan faksi sayap kiri TNI dan Partai Komunis mengambil bagian dalam serangan gerilya di perbatasan antara Kalimantan dengan Malaysia, sementara faksi sayap kanan TNI sebagian besar absen dari konflik (tidak jelas apakah karena pilihan atau perintah Soekarno).
Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong Blok Barat untuk mencari cara untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas regional Asia Tenggara (begitu pula Vietnam Utara dalam pandangan Teori Domino Blok Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini mendekati perang terbuka antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1965, meningkatkan ketidakpuasan dunia terhadap rezim Soekarno dan memperkuat peluang kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang pasukannya masih dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.

Runtuhnya sistem Demokrasi Terpimpin

Gerakan 30 September

Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman umum para jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto oleh Departemen Penerangan Indonesia).
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, enam jendral senior TNI diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan Darat yang paling berkuasa, Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personil tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi Lapangan Merdeka, dan menduduki Istana Merdeka, kantor Radio Republik Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati sisi timur, tempat markas Kostrad.[10] Menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00 WIB bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.[10]
Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota "Dewan Jenderal", yang telah merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada "Hari Angkatan Bersenjata" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah junta militer yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.[11][12] Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah "Dewan Revolusi" yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia. Selain itu, mereka menyatakan bahwa Kabinet Dwikora Presiden Soekarno sebagai "demisioner" ("tidak valid").[13]
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel Abdul Latief, Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan Kostrad (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.[14] Soeharto, bersama dengan Jenderal Nasution yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan khusus tentara RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personil G30S telah mundur kembali ke Markas Halim Perdanakusuma TNI AU. Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.[15]

Perebutan kekuasaan internal militer

Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh militer jatuh untuk personil tentara yang lebih bersedia untuk menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.[16] Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution, anggota dari kubu TNI sayap kanan.
Pada tanggal 2 Oktober, Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1 November dibentuklah Kopkamtib ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.[15] Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times melaporkan bahwa sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya, membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.[17]
Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan unit KOSTRAD-nya adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis, Soeharto menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut G30S. Kemudian, atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari jabatan yang diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.[18]

Pembersihan berdarah anti-komunis

Dua pria sedang menanti kematiannya, seorang tentara di belakang mereka menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya dalam sebuah eksekusi kilat terhadap para terduga komunis.
Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu Indonesia, dan berhasil meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan internasional bahwa peristiwa Gerakan 30 September adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa pembunuhan jenderal faksi sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut terhadap para pahlawan Indonesia.[19] Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30 September disebut "Gestapu" (dari "Gerakan September Tigapuluh"). Tentara, bertindak atas perintah Soeharto dan diawasi oleh Nasution, memulai kampanye agitasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan berdarah di kalangan warga sipil Indonesia yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.[20] Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.[21]
Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata memberi sinyal pada para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar habis saat petugas pemadam kebakaran hanya berdiri diam.[22] Mereka kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis dan organisasi massa berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap, beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua "onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI. Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan hukuman di luar hukum, termasuk penangkapan massal dan eksekusi kilat, terhadap siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno. Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk mencoba menghentikannya, tapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih luas.[22]
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilante Muslim) mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupun onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.[15] Pembunuhan dimulai di ibukota, Jakarta, menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra utara.[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.[24] Perkiraan jumlah korban tewas dari berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan sejarawan menerima figur sekitar 500.000.[25] Banyak orang lain juga dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar dugaan pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut.[26] Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.

Demonstrasi

Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI ("Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia"), yang menyerukan pelarangan PKI.[27] Organisasi ini segera dimasuki sejumlah organisasi serupa yang terdiri dari siswa SMA, pekerja, seniman, buruh dan sejenisnya. Target lainnya untuk para demonstran adalah kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah.[22] Mereka juga berdemonstrasi menentang Subandrio, menteri luar negeri dan kepala badan intelijen BPI dan orang nomor dua di pemerintahan. [12]
Pada 10 Januari 1966, para demonstran, termasuk KAMI, berdemonstrasi di depan gedung DPR dan mengumumkan apa yang dikenal sebagai "Tri Tuntutan Rakyat" (Tritura):
  • Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya
  • Pengusiran elemen PKI dari kabinet dengan adanya perombakan
  • Harga kebutuhan pokok yang lebih rendah dan perbaikan ekonomi[27]
Pada bulan Februari 1966 saat demonstrasi anti-komunis terus berlanjut, Soekarno mencoba menenangkan Soeharto dengan mempromosikan dirinya. Pada tanggal 21 Februari, Soekarno mencoba untuk mendapatkan kembali prakarsa pemerintahan dengan mengumumkan kabinet baru, yang termasuk mantan kepala TNI Angkatan Udara Omar Dhani, yang telah mengeluarkan pernyataan pada 1 Oktober 1965 awalnya mendukung "kudeta" G30S. Lebih provokatif lagi, Soekarno kemudian memecat Jenderal Nasution dari pos kabinetnya. Kabinet baru ini segera menjadi dikenal sebagai "Kabinet Gestapu", dari singkatan yang diciptakan oleh militer untuk Gerakan 30 September.[22]
Dua hari setelah pengumuman Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar berusaha menyerbu istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru Soekarno sedang dilantik, tentara dari Resimen Tjakrabirawa (pengawal presiden) menembaki kerumunan di depan istana, membunuh pengunjuk rasa mahasiswa Arif Rahman Hakim, yang kemudian diangkat menjadi martir dan diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.[22][27]
Pada 8 Maret 1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri, dan mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya menuduh Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar grafiti yang menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah referensi anggapan tentang kedekatannya terhadap pemerintahan komunis China) atau tergantung di tiang gantungan.[22]
Soekarno kemudian merencanakan serangkaian pertemuan yang berlangsung tiga hari untuk memulihkan kekuasaannya. Yang pertama, pada tanggal 10 Maret, melibatkan para pimpinan partai politik. Ia berhasil membujuk mereka untuk menandatangani deklarasi peringatan terhadap perlawananan atas otoritas presiden oleh demonstrasi mahasiswa. Tahap kedua adalah rapat kabinet yang direncanakan untuk tanggal 11 Maret. Namun, saat pertemuan ini sedang berlangsung, sebuah kabar mencapai Soekarno bahwa pasukan tak dikenal sedang mengepung istana. Soekarno segera meninggalkan istana dengan tergesa-gesa menuju Bogor, di mana malam itu, ia menandatangani dokumen Supersemar sebagai serah terima wewenang untuk memulihkan ketertiban kepada Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto bertindak cepat. Keesokan harinya, tanggal 12 Maret ia segera melarang PKI. Pada hari yang sama, terlihat "unjuk kekuatan" oleh TNI Angkatan Darat di jalan-jalan Jakarta, yang disaksikan oleh orang banyak yang bersorak.[22] Pada tanggal 18 Maret Soebandrio dan 14 menteri lainnya ditangkap, termasuk deputi perdana menteri ketiga Chairul Saleh. Malam itu, radio mengumumkan bahwa para menteri tersebut berada di tahanan perlindungan.[22]
Soeharto kemudian mengakui dalam otobiografinya bahwa ia sering berhubungan dengan para demonstran mahasiswa selama periode ini, dan Soekarno sering meminta dia untuk menghentikan demonstrasi-demontrasi tersebut.

Manuver politik

Jenderal Soeharto disumpah sebagai presiden kedua Indonesia pada 27 Maret 1968 (Foto oleh Departemen Penerangan Indonesia).
Pada tanggal 27 Maret, susunan kabinet baru yang disepakati Soeharto dan Soekarno, diumumkan. Kabinet ini termasuk tokoh kunci Soeharto sendiri sebagai wakil perdana menteri interim untuk keamanan dan urusan pertahanan, bertugas mencegah kebangkitan komunisme, Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi, keuangan dan pembangunan , bertugas memecahkan masalah ekonomi bangsa dan Adam Malik sebagai wakil perdana menteri untuk urusan sosial dan politik, yang tugasnya akan mengelola kebijakan luar negeri.[22][28]
Pada 24 April 1966, Soeharto berpidato kepada anggota Partai Nasional Indonesia di mana ia berbicara tentang "tiga penyimpangan" yang harus dikoreksi oleh para pemuda negara bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata. Hal ini adalah:
  • Radikalisme ekstrim kiri PKI dan upaya untuk memaksakan perjuangan kelas pada rakyat Indonesia;
  • Oportunisme politik yang dimotivasi oleh keuntungan pribadi, dipimpin dan dieksploitasi oleh "dalang" dari Badan Pusat Intelijen Indonesia (BPI), yang pada saat itu dipimpin oleh Subandrio, sekutu Soekarno;
  • Avonturisme ekonomi, menghasilkan penciptaan sengaja sebuah kekacauan ekonomi.[29]
Rezim baru ini berpaling dari China dan mulai bergerak untuk mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan menyimpang dari keinginan Soekarno.[22]
Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan lembaga-lembaga negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana, Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di depan gedung legislatif pada tanggal 2 Mei, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan pro-komunis diskors dari DPR-GR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang Pro-Soeharto kemudian diangkat.[11][22]
Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka 12 Mei, tapi akhirnya dimulai pada tanggal 20 Juni dan berlanjut sampai dengan 5 Juli. Salah satu tindakan pertamanya adalah menunjuk Jenderal Nasution sebagai ketua. Sidang ini kemudian mulai membongkar aparatur negara yang telah dibangun Soekarno di sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan beberapa keputusan, salah satunya adalah ratifikasi Supersemar, sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi Marxisme, menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil Soekarno untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di Indonesia dan menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup". Sidang ini juga mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa jika presiden (Soekarno) tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan menjabat sebagai presiden.[22][27]
Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 20 Juni, dipimpin oleh presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan termasuk Adam Malik dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini kembali mencakup pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.
Pada tanggal 11 Agustus, sebuah perjanjian damai ditandatangani, secara resmi mengakhiri "Konfrontasi" Indonesia-Malaysia. Indonesia mengumumkan akan bergabung kembali dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perjanjian ini termasuk pembebasan tahanan politik Soekarno dan pembayaran kompensasi kepada pemerintah Inggris dan Amerika Serikat atas kerusakan yang terjadi pada bangunan diplomatik mereka selama demonstrasi di era Soekarno.
Pada tanggal 17 Agustus, dalam pidato hari kemerdekaan tahunan, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia tidak mau mengakui Malaysia atau bergabung kembali dengan PBB. Ia juga menyatakan bahwa ia tidak memindahkan kekuasaan kepada Soeharto. Ini memicu reaksi marah dalam bentuk demonstrasi, dan Indonesia memang akhirnya bergabung kembali dengan PBB pada bulan September, berpartisipasi dalam Majelis Umum pada tanggal 28 September.[27] Sementara itu, kritik dari para demonstran menjadi semakin gencar dan pribadi, ada yang menuntut Soekarno untuk diadili.
Pada 10 Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan dokumen yang dikenal sebagai "Nawaksara", memberikan versinya tentang peristiwa seputar Gerakan 30 September. Di dalamnya, ia mengatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI tersebut adalah sebuah "kejutan tak terduga" kepadanya, dan bahwa ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah moral dan ekonomi bangsa. Hal ini menyebabkan demonstran menyerukan Soekarno untuk digantung.[22]
Pimpinan MPRS kemudan bertemu pada tanggal 21 Januari dan menyimpulkan bahwa Soekarno telah gagal untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Dalam resolusi yang disahkan pada 9 Februari, DPR-GR menolak Nawaksara dan meminta MPRS untuk mengadakan sidang khusus.[27]
Laporan ABC April 1967 tentang ketegangan politik di akhir era Soekarno.
Pada tanggal 12 Maret 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan sengit, sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya. Pada tanggal 12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai tahanan rumah secara de facto di kediamannya di Bogor. Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968 sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.[27]
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada tanggal 16 Desember 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi Tertinggi, dan memegang sebagian dari hirarki militer yang umumnya dipegang oleh orang sipil. The New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka membentuk sebuah junta untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.[30] (New York Times, 16 Desember 1965.)

Konsekuensi

Undang-undang anti-tjina

Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di Indonesia berawal di era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya undang-undang anti-China menyusul usahanya menghapuskan total faham komunisme (karena negara China menganut faham komunisme). Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-Indonesia kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan Republik Rakyat Cina memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom kelima (simpatisan rahasia) komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China yang kala itu ramah diputus, dan Kedutaan Besar China di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-sentimen serupa.

Sebuah sistem politik baru

Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. PKI juga merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir. Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto dalam 32 tahun selanjutnya.[31]
Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan untuk memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi, dan mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia. Militer diberi peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan sosial di seluruh Indonesia mengalami birokratisasi dan korporatisasi, dan metode represi yang selektif namun efektif dan kadang-kadang brutal digunakan terhadap penentang rezim Orde Baru.[31]
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer sebagai bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.

Kebangkitan Islamisme

Penghilangan partai-partai Nasionalis dan Komunis, dua jenis partai yang sekuler, memiliki efek samping yang memberikan ruang lebih luas untuk pengembangan doktrin Islamisme di Indonesia. Hal ini termasuk doktrin Islam yang liberal, konservatif, dan kelompok-kelompok ekstremis yang menganut Islam di Indonesia. Para pengamat sejarah dan politik Indonesia meyakini bahwa pasukan Soeharto membesar-besarkan sentimen anti-komunis dengan memanfaatkan permusuhan golongan Islam konservatif terhadap komunisme yang "tak bertuhan" untuk menghasut jihad melawan para pendukung sayap kiri (komunisme).

Peningkatan hubungan dengan Barat

Perubahan rezim ini membawa perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang memungkinkan USAID dan lembaga bantuan lainnya untuk beroperasi di dalam Indonesia. Soeharto membuka ekonomi Indonesia dengan melepas perusahaan milik negara, dan negara-negara Barat didorong untuk berinvestasi dan mengambil kendali dari banyak kepentingan pertambangan dan konstruksi di Indonesia. Hasilnya adalah stabilisasi ekonomi dan pengentasan kemiskinan absolut dan kondisi kelaparan yang telah dihasilkan dari kekurangan pasokan beras dan keengganan Soekarno mengambil bantuan negara-negara Barat.
Sebagai hasil dari eliminasi komunis, Soeharto kemudian dipandang sebagai seorang yang pro-Barat dan anti-komunis. Sebuah hubungan militer dan diplomatik yang akan berlangsung lama antara Indonesia dan negara-negara Barat telah dibangun, yang kemudian mengarah ke pembelian senjata dari Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia dan pelatihan personil militer Indonesia oleh negara-negara tersebut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS