Jend. Besar TNI Purn. H.M. Soeharto |
|
---|---|
Presiden Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 (31 tahun) |
|
Wakil Presiden | Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973–1978) Adam Malik (1978–1983) Umar Wirahadikusumah (1983–1988) Sudharmono (1988–1993) Try Sutrisno (1993–1998) B.J. Habibie (1998) |
Didahului oleh | Soekarno |
Digantikan oleh | B.J. Habibie |
Menteri Pertahanan ke-14 | |
Masa jabatan 28 Maret 1966 – 17 Oktober 1967 |
|
Presiden | Soekarno |
Didahului oleh | A. H. Nasution |
Masa jabatan 17 Oktober 1967 – 28 Maret 1973 |
|
Presiden | Soeharto |
Digantikan oleh | Maraden Panggabean |
Informasi pribadi | |
Lahir | 8 Juni 1921 Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, Hindia Belanda |
Meninggal | 27 Januari 2008 (umur 86) Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Golkar |
Suami/istri | Tien Soeharto |
Anak | Siti Hardijanti Rukmana (Tutut)[1] Sigit Harjojudanto (Sigit) Bambang Trihatmodjo (Bambang) Siti Hediati Hariyadi (Titiek) Hutomo Mandala Putra (Tommy) Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) |
Profesi | Tentara, Politikus |
Agama | Islam |
Tanda tangan |
Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi kenegaraan.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2][3]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.[4][5][6][7] Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar.[8]
Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk.
Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Daftar isi
- 1 Keluarga Soeharto
- 2 Awal hidup dan pendidikan
- 3 Karier militer
- 4 Naik ke kekuasaan
- 5 Sebagai presiden
- 6 Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
- 7 Puncak Orde Baru
- 8 Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
- 9 Kejatuhan Presiden Soeharto
- 10 Kasus dugaan korupsi
- 11 Peninggalan
- 12 Kematian
- 13 Lihat pula
- 14 Daftar pustaka
- 15 Referensi
- 16 Pranala luar
Keluarga Soeharto
Pada saat itu keluarga Prawirowihardjo, orang tua angkatnya mengutus
Mbok Bongkek sebagai pembawa pesan lamaran disertai foto Soeharto yang
ketika itu berusia sekitar 26 tahun. Akhirnya, ia resmi menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah,
anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo.
Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang
kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember
1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Awal hidup dan pendidikan
Pada 8 Juni 1921, Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga
adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias
Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama
Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang
dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak.
Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya
bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan
Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena
ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari
Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak
ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung
ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan
Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau saat
membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin.
Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah
Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan
tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar
(SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta)
lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul.
Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang
mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra
paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo.
Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama
berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari
keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di
bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan
menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di
sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai
semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai
mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran
Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah
(SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah
lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal
di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang
pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia
Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat
resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke
kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di
sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki
(sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang
lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu
membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari
pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di
Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah
Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan
anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara
kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.
Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan,
karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang
ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah.
Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer
sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi
prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi
anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung
untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama
seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi
komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan
berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan
pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi
penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk
sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat)
Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks
KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman
bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum
di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan
bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan
diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan
kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956,
ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV
Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957,
pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat.
Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan
Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir
jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961,
jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum
AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan
jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada
tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer
Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962)
dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan
merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar.
Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat
menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962,
Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965,
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini
memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap
orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik ke kekuasaan
Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan. Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini. |
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution
yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf
Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto,
meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak
dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S
itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang
didukung oleh CIA
yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan
pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa
bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad
yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat
Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada
Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat
G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan
Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru
dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran
pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis
(PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA
dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis"
Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer
Indonesia. Been Huang,
bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak
darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda
harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan
kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap
perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI,
Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima
kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.
Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968,
Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas
Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli,
Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs
Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971,
presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan
memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar.
Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih
kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973)
pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer
(Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut
melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai
posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan
taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978,
Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan
Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983
memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar
Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983,
MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.
Pada 16 Maret 1983,
Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang
terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda,
dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan
dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan
massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat
dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat
dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim
Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat
administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968
dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang
pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an.
Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan
Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley".
Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan
inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta
mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan
mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo
sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi
dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai presiden
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma
ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165
negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot
perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang
sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia
menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya.
Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para
petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu
merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden
Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu
dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986.
Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat.
Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada
tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang
dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia
mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai
presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan
kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang
Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan
keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan
perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York
pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika
pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di
bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh
Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York
bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.
Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa
Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut
mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia.
“Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak
jatah produk domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri
Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto
sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson
menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di
Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan
juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak
petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri
Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara
istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan
diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai
presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari
Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22
Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak
permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di
Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR
sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini,
Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut
ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya
tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada
kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr
Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa
jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12
Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam
jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa
Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk
periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia
pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya
mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali
tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode
1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal
Besar saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi
dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke
Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada
8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk
memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden
minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter
(29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup
tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden
untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil
presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan
tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi
lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka
krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto
menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di
Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur
kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan
kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan
industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei
1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem
kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk
kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden
untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari
jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei
1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti
dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu
menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang.
Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai
aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan
mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa
Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka.
Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan
artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat
stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya
empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang
tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir
menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara
luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya
keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih
besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan
hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan
rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara
utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk
mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan
termasuk berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998,
Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat
pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa
mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua
mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto
(Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan
(Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas
angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi
Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi
untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas
pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan
alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran
dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib
dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam.
Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup
dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan
dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun
1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai
isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak
lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira
tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis,
yang tergabung dalam Petisi 50,
mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah
Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan
Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya,
pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah
mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan
ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak
teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang
umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley
di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara
donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992,
IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur
dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect
(menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU
Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat
itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan
politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap
penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat
diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya
karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan
atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi,
sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa
kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain
memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis
di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena
tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto
terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi.
Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui
hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian
menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli
kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai
dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin
memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur
Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang
menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan
pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50
menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari
anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia
menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB
membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur.
Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung
Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Kejatuhan Presiden Soeharto
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998 |
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia
pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden
Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti
pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di
Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM.
Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto. Namun,
Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF
di Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan
Soeharto. Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “we created the conditions that obliged President Soeharto Left his job"[9].
Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara,
Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali,
demikian:
“ | Sejak beberapa waktu
terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional
kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang
mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan
pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite
Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian,
kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak
dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap
rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945. Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI. |
” |
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri
kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan,
akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan
selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan
wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut
dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap
Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap,
demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi
masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak
Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung
Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada
seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden
Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD
1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna
mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan
bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap
menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR
termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua
pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak
kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kasus dugaan korupsi
- Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden,
berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan
pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia
itu. Pada 1 September
1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang
yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di
Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November
1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar
menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan
tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal
dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember
1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera
mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember
1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi
Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan
Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita
tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei
1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM
Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti
diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni
1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian
Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto
menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2
persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi
fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International,
Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar
A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[10]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
0 komentar:
Posting Komentar